Wednesday, April 5, 2023

Mengapa Anak Muda Harus Terlibat Politik?

                                 Mengapa Anak Muda Harus Terlibat Politik?

                Karena Harapan untuk memperbaiki politik masa depan ada pada pemuda.


Terlibat dalam politik bukan hanya menjadi kepala daerah, anggota DPR/DPRD , MPR, Presiden, atau menjadi bagian dari partai politik.

Kita bisa melihat keaktifan itu dari banyak nya demo dan kritik pedas dari anak muda kepada negara dan pemerintah,serta juga banyak anak muda yang ikut serta menjadi caleg baik DPR,DPRD,hingga pimpinan daerah maupun pusat.

Apakah ini baik? tentu baik, di era Orba misalnya, demokrasi hanya untuk satu orang saja yaitu kepala negara,diluar itu tidak ada yang namanya demokrasi, pembatas suara, penghilangan kepada mereka yang gencar mengkritik pemerintah, bahkan sekelas pemilu saja masih dibumbui oleh kecurangan. 

Dan yang terpenting, partisipasi anak muda dalam Turut memberi suara untuk menentukan pilihan dalam pemilihan umum pun merupakan keterlibatan kita dalam partai politik. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti, memberikan suara dalam pemilihan umum.

Kalau kaum muda bersikap apatis terhadap politik, kemudian enggan memberikan suaranya maka keputusan itu akan menentukan nasib banyak orang bukan hanya kaum muda selama 5 tahun ke depan.

Tahun 2024 semakin dekat, aroma pertarungan politik di Indonesia semakin tercium dengan jelas di berbagai media.

Untuk kaum muda atau generasi millenial, sudahkah kalian menentukan pilihan? Atau masih bersikap apatis dengan politik?

Mari kita lihat, mengapa sebagai kaum muda, kita harus terlibat dalam politik

Pilihanmu menentukan nasib semua orang 5 tahun mendatang


 

    Partisipasi anak muda dalam demokrasi sangat penting untuk menjaga dan mengontrol jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijalankan oleh para pejabat negara. Pada zaman sekarang, anak muda cenderung aktif untuk mengontrol jalannya pemerintahan dan hal ini dibuktikan dengan anak muda yang lebih responsif terhadap adanya perubahan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Namun, untuk bisa menciptakan argumen yang valid pastikan juga bahwa kita sudah mengerti seluruh instrumen kebijakan sebelum kita mengkritik apa yang dilakukan oleh pemerintah.

Sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, Indonesia tentu sulit memiliki kendala tersendiri dalam mendengarkan aspirasi masyarakatnya. Wilayah yang begitu luas membuat beberapa daerah di Indonesia, khususnya daerah pelosok, jadi sulit dijangkau. Alhasil, masyarakat yang jauh dari ibukota pun justru jadi bersikap apatis terhadap pemerintahan dan isu-isu politik yang ada.

     Apatisme adalah suatu sikap di mana tidak adanya simpati dan antusiasme terhadap sebuah objek. Apatis juga bisa diartikan sebagai sikap cuek atau tidak peduli. Jadi dapat dikatakan bahwa apatisme politik adalah rendahnya simpati dan antusiasme terhadap perkembangan politik yang berujung pada sikap tidak peduli.

     Apatisme memang bukan barang baru dalam panggung perpolitikan Indonesia. Apatisme politik sudah ada sejak dulu namun baru mulai dibahas ketika masa reformasi dimulai. Hingga kini apatisme politik tetap menjadi suatu hal yang masih layak untuk dibahas. Apalagi saat ini merupakan era informasi di mana setiap orang bebas mengakses informasi dan bebas menyuarakan pendapat di media sosial.

     Meskipun sekarang adalah eranya keterbukaan informasi, tapi masih banyak orang Indonesia yang tidak paham dengan situasi politik di Indonesia. Lebih parahnya lagi, bukan hanya orang awam saja yang tidak paham dengan politik tapi bahkan kalangan terpelajar seperti mahasiswa pun kadang tidak paham dengan perpolitikan di Indonesia.

     Saat menghadapi pesta pemilu saja, banyak anak muda yang memutuskan untuk golput. Hal itu berarti mereka enggan untuk turut berpartisipasi dalam proses politik yang berjalan di Indonesia. Padahal satu suara saja bisa menentukan nasib bangsa ke depannya. Jika semua orang berpikiran sama, maka akan seperti apakah wajah politik Indonesia di masa depan?

     Seseorang yang bersikap apatis terhadap politik dan pemerintahan juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Ada beragam dalih yang membuat seseorang memutuskan untuk golput. Tidak kenal terhadap calon dan rasa kecewa terhadap politik menjadi dalih yang paling kuat mendorong tumbuhnya sikap apatis. Bagaimana mungkin rakyat mau memilih calon pemimpin yang tidak mereka kenal? Bagaimana mungkin rakyat akan memilih calon pemimpin yang pernah membuat mereka kecewa? Jika tidak ada pilihan lain, maka golput dianggap sebagai jalan terbaik. 

Sesuatu yang tidak bisa dilepaskan ketika membahas tentang partisipasi adalah golput untuk menyebut bagi pemilih yang tidak menggunakan haknya. Fenomena golput ini ada di setiap pemilihan umum. Di hampir setiap pemilihan, jumlah golput akan dianggap sehat jika jumlah golput dalam kisaran angka 30 persen, meski banyak pemilihan jumlah golputnya melampaui titik itu, mencapai kisaran 40 persen bahkan ada yang lebih. 

Pada pemilu 2019, diprediksi akan banyak anak muda di Yogyakarta yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Seperti yang sebelumnya dikatakan, mereka semua memiliki alasannya masing-masing untuk tidak memilih.

Namun, salah satu alasan yang paling umum adalah karena mereka tidak suka dengan gaya kampanye dari calon baik itu eksekutif maupun legislatif. Untuk mengurangi angka golput ini, ada baiknya para calon mengkaji ulang strategi kampanye mereka dan mencoba untuk melakukan kampanye dengan cara yang disukai anak-anak muda.

Ambillah contoh Bambang Soepijanto. Calon DPD RI Dapil DIY yang juga ketua APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia) ini melakukan kampanye dengan cara yang kreatif dan menarik bagi kawula muda Yogyakarta. 

Tidak hanya sekedar menarik simpati masyarakat dengan mengobral janji-janji yang belum tentu ditepati di kemudian hari, Bambang Soepijanto melakukan kampanye dengan dimulai dari membagikan konten-konten edukatif. Hal tersebut bisa dilihat di akun instagram resmi Bambang Soepijanto. Melalui Instagram, Bambang memberikan konten edukatif seperti membahas isu-isu populer di Indonesia dan Yogyakarta, serta membahas tentang hal-hal terkait pemilu. 

Cara yang ditempuh oleh Bambang Soepijanto dalam melakukan kampanye ini bisa jadi karena mantan Dirjen Planologi Kehutanan ini sadar bahwa kampanye di era sekarang ini tentunya harus menyesuaikan pula dengan keadaan di masyarakat. Jika masyarakat sudah jengah dengan cara kampanye yang sudah dilakukan bertahun-tahun oleh calon-calon lainnya, maka lakukanlah penyegaran dalam berkampanye dengan memanfaatkan teknologi yang banyak digunakan oleh masyarakat. 

Kecerdikan Bambang Soepijanto dalam berkampanye melalui media sosial ini adalah tanda bahwa Bambang Soepijanto ingin menjaga ketentraman masyarakat Yogyakarta dengan tidak melakukan kampanye yang provokatif dan mengadu domba antar rakyat DIY.


Dianalisis menggunakan Teori Komunikasi Lasswell


No comments:

Post a Comment